Prawinoto memungut tanaman setengah mati di tempat sampah. Entah jenis apa, yang jelas berdaun lebar. Tanaman itu dalam keadaan setengah mati dalam arti sebenarnya. Satu daunnya sudah rontok, satunya lagi akan rontok. Akarnya mulau kering. Beberapa hari lagi pasti mati. Prawinoto merawatnya seperti tanaman baru. Sering disiram dan diberi pot besar. Kini sehat dan hijau.
Berkebun itu soal menanam, menghidupkan. Efek keindahan dan estetikanya hanya nilai tambah. Banyak orang berkebun hanya mementingkan efek estetika ini. Tanaman akan dibuang dan dibiarkan mati jika tidak indah lagi. Ia bukan lagi kehidupan, tapi seonggok sampah yang mengotori dan mengganggu. Tapi setidaknya mereka sudah menanam dan menghidupkan.
Pandemi ini miming banyak mencabut nyawa, tapi juga membantu kehidupan. Selama enam bulan pandemi, toko dan kebun penjual tanaman selalu ramai. Prawinoto singgah di salah satunya. Pelayan sibuk menunjukkan apa yang dinginkan tamu. Pembeli sangat ramai. Teman di sosmed Prawinoto, seorang wanita pekerja muda, menunjukkan kiriman paket hidroponik yang baru datang. Wajahnya girang.
Bagaimana kalau berkebun dengan berpolitik? Suka tidak suka, banyak pengaruhnya. Kini di beberapa negara, kebijakan-kebijakan tentang holtikultura dibuat oleh para pelobi dan politisi, bukan komunitas yang bergerak di bidang pertanian.
Politisi yang baik disarankan untuk berkebun. Berkebun juga mengajari orang untuk bersabar, dan memahami sifat alam. Kalau kata Audrey Hepburn, “Menanam itu merencanakan masa depan.”
Hmm. Prawinoto manggut-manggut. Jadi, kalau Anda bukan politisi, perbanyaklah berkebun, kurangi berpolitik. Kalau Anda politisi, habiskan waktu lebih banyak untuk berkebun.