Jalan berlubang naik turun mengocok seisi jip Toyota Hartop. Saya yang duduk di bangku depan ikut mental ke atas, ke kiri dan ke kanan. Pegangan yang kuat, kawan. Sekitar pukul satu malam, jip memasuki desa Lumbang di Probolinggo.
Jip terus melaju. Menembus malam, melibas jalanan setengah jadi, terkadang hanya tanah licin. Semakin lama, semakin banyak jip seperti yang kami tumpangi. Lampu jip bersahut-sahutan.
Semua ingin lebih dulu sampai di lokasi untuk melihat matahari terbit dari kawasan Bromo. Penanjakan 1. Selepas kendaraan parkir, kini jalan dipenuhi manusia. Seperti pasar saat jelang hari raya.
Semua ingin yang terbaik. Mendapat tempat untuk melihat yang lebih baik. Mendapat sewaan pakaian hangat yang lebih baik. Mendapat posisi yang ideal untuk memotret. Berdesak-desakan dan saling dorong pun tak terhindarkan.
Beberapa orang menyerah di ketinggian 2770 mdpl ini. Berebut mencari tempat untuk menghangatkan badan. Atau sekadar nongkrong di perapian tukang goreangan. Apa saja demi melawan dingin yang menusuk tulang.
Sunrise yang ditunggu-tunggu tentu saja datang tepat waktu. Tapi sayangnya awan dan mendung datang lebih dulu. Di tengah dingin dan rintik hujan, para pengunjung pelan-pelan berkurang. Mesin-mesin hartop mulai menyala lagi. Kabin mobil off road itu seperti menyambut mangsa yang siap “dilempar” seperti karung. Jip melaju turun.
Pasir berbisik. Hanya pasir biasa yang bersuara dihembus angin.
Padang hijau yang mereka bilang bukit teletubbies.
Bekas roda jip di tanah basah.