Minibus kami melaju dari Ubud ke wilayah ke daerah Bangli. Di dalam minibus kami bertujuh, termasuk supir. Saya, Oom Beng, dan empat lainnya. Kecuali Oom beng, saya baru kenal mereka. Tak masalah, ini perjalanan menarik karena pertama kali saya ke Desa Penglipuran yang terkenal itu.
Kesan pertama saat turun dari mobil. Semuanya indah, sempurna, dan tanpa hal buruk yang mengganggu kehidupan. Selama datang di Desa Penglipuran, Bangli, Bali. Tenang, damai, dan semua makhluk tidak saling menggangu. Rapi dan teratur. Tanaman hijau dan segar . Bangunan sederhana tapi tapi tampak kokoh. Para penduduknya sepertinya menyenangkan dan apa adanya. Di jalanan yang bersih, anak-anak berlari-lari, seperti bermain petak umpet dengan alam.
Desa Penglipuran salah satu desa terbaik dunia dari segi kebersihan. Bersama Giethoorn (Belanda) dan Mawlynnong (India), di awal tahun 2016. Penglipuran memberi contoh bagaimana seharusnya sebuah desa dirawat.
Penglipuran mulai dikenal sebagai tujuan wisata di awal tahun 1990-an. Ketika itu mulai banyak turis yang mendatangi desa ini dan menikmati kehidupan sosial dan adat-istiadatnya. Apa rahasia Penglipuran sehingga begitu menarik dari segi alam dan orangnya? Penglipuran menjaga budaya, tradisi, dan hutan bambu di sekitarnya. Penduduk desa ini menganut prinsip hidup yang dinamai Tri Hita Karana, yaitu “Tiga Penyebab Terciptanya Kebahagian”.
Tri Hita Karana yang melestarikan alam dan keberagaman diadopsi turun-turun. Menjaga hubungan segitiga yang damai antara manusia, alam, dan sang pencipta. Penglipuran seolah membuat standar bagaimana seharusnya desa-desa adat lain di Indonesia. Penglipuran baru dikenal pada awal 1990-an, tapi prinsip hidup yang di dalamnya sudah berumur ratusan mungkin ribuan tahun.
Oya, perjalanan kali ini saya mengajak seorang model Bali. Namanya Gung Berlian. “Biar motret di Ubud lebih asyik,” kata Oom Beng yang punya ide ini.