Maya melangkah pelan keluar dari salah satu tenda pengungsi di kamp Kaberto, dekat Dohuk, daerah Kurdistan di Irak. Ini tenda pengungsi Yezid, warga yang terbuang dari tanah kelahiran karena mereka menganut keyakinan yang berbeda.
Tenda dari terpal dengan ikatan seadanya itu basah. Ratusan tenda lain dengan kondisi sama di sekitarnya. Dari atas kelihatan seperti bulatan salju yang jatuh berantakan.
Maya, gadis kecil berusia 12 tahun itu, memasukkan satu kaki mungilnya ke dalam sepatu basah. Dia menarik dengan cepat. Sepatu itu terlalu basah untuk dipakai. “Sepatuku terlalu beku. Aku menunggu agar kering sedikti saja.”
Sepatu beku bukan yang terburuk dalam hidup Maya. Sejak jadi pengungsi dia mendengar kemurkaan manusia. Suara-sara akibat peperangan, asap menjulang akibat bom, ledakan yang membelah tembok, bangunan yang robek karena letusan.
Dia juga melihat jejak kaki pengungsi bertumpuk-tumpuk di tanah yang becek. Saat panas sinar matahari menampar wajah letih pengungsi. Saat musim dingin seperti ini tetes air menembus jaket tipis mereka dan membasahi kulit.
Maya kembali memasukkan kakinya. Tidak sedingin tadi. Dia melangkah beberapa meter dari tenda pengungsi.